Lahir dan Bertumbuh di Kampung, Menjalani Karier Aktivis di Kota
Abdon Nababan – Calon Anggota DPD RI Sumatera UtaraLahir pada 2 April 1964 dan dibesarkan di Pealangge, Humbang, Tapanuli Utara, Tano Batak, Sumatera Utara, Abdon Nababan memulai pendidikan dasar di SDN Paniaran, Siborongborong. Ia lalu melanjutkan studi ke SMP RK St. Yosef dan berasrama di Lintong ni Huta. Di masa SMA, awalnya Abdon Nababan menempuh pendidikan di SMA RK Budi Mulia di Pematang Siantar, sebelum kemudian melanjutkan hingga tamat masa studi di SMAN II Jakarta di tahun 1982.
Lima tahun kemudian, Abdon Nababan menyelesaikan studi strata satu dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Di masa kuliah, ia menempa diri dengan aktif berorganisasi di dalam dan luar kampus. Selain beraktivitas di Senat Mahasiswa dan Himpunan Profesi, ia juga bergabung dengan Lawalata, kelompok mahasiswa pecinta alam di IPB.
Di luar gedung kuliah, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Yayasan Indonesia Hijau (YIH) menjadi ruang belajar. Di rentang 1984-1986, Abdon Nababan juga rutin menggelar layanan pendidikan di Lintas Alam Ciapus setiap akhir pekan yang ditujukan kepada para pelajar dan mahasiswa. Tak kurang dari 2.500 orang mendapatkan manfaat dari model pendidikan partisipatif yang dihelat di kaki Gunung Salak.
Di tahun 1989, dua tahun setelah sarjana, Abdon Nababan bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan ditunjuk sebagai Koordinator Program Hutan pada 1991-1993. Semangat untuk mengembangkan gerakan lingkungan hidup di Indonesia mendorong dirinya dan beberapa orang sahabat mendirikan Yayasan Sejati yang dipimpinnya di periode 1993-1996.
Tidak berhenti di situ, Abdon Nababan juga mendorong dan terlibat aktif dalam membidani lahirnya organisasi lingkungan seperti Yayasan Telapak – yang di kemudian hari menjadi Perkumpulan Kaoem Telapak dan Forest Watch Indonesia (FWI). Di dua organisasi tersebut, Abdon Nababan pernah dipercayakan memegang mandat sebagai Eksekutif Yayasan Telapak Indonesia pada periode 1996-1998, dilanjutkan sebagai Direktur FWI di tahun 1998-2000 sebelum akhirnya kembali pulang dan menjadi Ketua Umum Perkumpulan Telapak pada 2004-2006.
Melalui organisasi-organisasi ini, ia merintis dan mengembangkan pendekatan, metodologi dan teknik investigasi mendalam untuk mendapatkan bukti lapangan tak terbantahkan atas pelanggaran hukum kehutanan yang dilakukan perusahaan-perusahaan pemegang hak konsesi.
Dengan kegigihan dan kepeloporannya dalam menyelenggarakan investigasi lapangan, kampanye mengenai isu hutan dan lingkungan hidup di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Abdon Nababan diakui luas sebagai pelopor dan pengembang kampanye dan advokasi hutan berbasis bukti (evidence based forest campaign and advocacy).
Tak hanya di hutan, di bidang pesisir dan kelautan Abdon juga mengembangkan pemantauan terhadap pengrusakan lingkungan dan pengelolaan pulau-pulau kecil. Ia turut memprakarsai berdirinya Jaringan Pesisir dan Laut atau Jaring Pela (1997-2002).
Konsisten Berjuang untuk Kedaulatan Masyarakat Adat dan Desa
Pembelajar tekun, Abdon Nababan juga mendalami dan menggeluti bidang pengembangan dan pengelolaan strategis organisasi serta pengorganisasian Masyarakat Adat. Ia terlibat aktif menggalang sinergitas antar sesama aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan beragam elemen gerakan sosial untuk melakukan pembelaan hak-hak Masyarakat Adat, petani, nelayan dan penyelamatan lingkungan.
Salah satu bentuknya adalah dengan melibatkan diri secara langsung dalam pembelaan dengan menerima mandat sebagai Koordinator Komite Pengarah pada Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (Indonesian NGOs Network for Indigenous Rights Advocacy, JAPHAMA) – koalisi ORNOP yang secara bersama-sama melakukan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat di tingkat nasional dan internasional.
Abdon Nababan kemudian semakin mendalami perjuangan Masyarakat Adat dengan terlibat dalam struktur kepanitiaan pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara atau KMAN. Sejak dihelat pertama kali dihelat di Jakarta pada Maret 1999, hingga KMAN V yang berlangsung di Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatera Utara pada Maret 2017, Abdon tak pernah henti menunaikan amanah.
Di tahun 1999, ia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Panitia Pelaksana KMAN I. Di tahun 2003, Abdon Nababan bertugas sebagai Ketua Panitia Pelaksana KMAN II. Pada KMAN III di tahun 2007, ia menunaikan tugas sebagai Wakil Ketua Panitia Pengarah, dilanjutkan dengan menjadi Ketua Panitia Pengarah KMAN IV yang berlangsung di tahun 2012. Lima tahun sesudahnya, ia menjadi penanggung-jawab berlangsungnya KMAN V.
Keterlibatannya pada berbagai proses pengorganisasian gerakan Masyarakat Adat, membuat Abdon Nababan diberi kepercayaan sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) selama dua periode kepemimpinan, di tahun 2007-2012 dan di tahun 2012-2017. Kepercayaan tersebut adalah buah kepercayaan politik atas kinerja Abdon Nababan menjabat sebagai Sekretaris Pelaksana AMAN di periode 1999-2003. AMAN sebagai organisasi Masyarakat Adat tumbuh dan berkembang bersama Abdon Nababan, yang memiliki budaya organisasi responsif dan tanggap untuk melayani anggotanya dari 2.512 komunitas adat di seantero negeri dengan populasi mencapai 20 juta jiwa.
Semasa memimpin organisasi Masyarakat Adat nasional terbesar di dunia, Abdon Nababan mengambil peran aktif dalam kepemimpinan kolektif gerakan Masyarakat Adat Internasional. Ia dalam berbagai negosiasi tingkat tinggi dan menjadi juru bicara di dalam forum-forum PBB mewakili Masyarakat Adat.
Setelah 20 tahun mengabdi bagi gerakan Masyarakat Adat dan memimpin langsung memimpin penyelenggaraan harian organisasi AMAN, pada hajatan KMAN V di tahun 2017, Abdon Nababan dipilih menjadi anggota Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS). Ia dimandatkan sebagai wakil dari Region Sumatera dan dipercaya menjadi Wakil Ketua, sebelum kemudian dimufakatkan sebagai Ketua DAMANNAS hingga akhir periode di tahun 2022. Penyelenggaraan KMAN VI yang berlokasi di Tana Tabi, Sentani, Papua pada Oktober 2022, menandai senjakala 19 tahun pengabdian Abdon Nababan di organisasi di AMAN.
Semasa menjabat Sekjen AMAN, karena pengalaman dan keahliannya, Abdon Nababan dipercaya menjadi Panel Ahli UNDP Bidang Keahlian Masyarakat Adat/Lokal dalam penyusunan Indeks Tata Kelola Hutan dan Gambut. Ia juga merupakan salah satu dari Panel Ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12 Kementerian/Lembaga Non-Kementerian untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.
Abdon Nababan juga dipercaya sebagai bagian dari Panitia Pengarah Tim Penanganan Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK, menjadi anggota Forum Pakar Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial RI, dan anggota Kelompok Ahli Bidang Humaniora Badan Restorasi Gambut (BRG).
Abdon Nababan juga tak pernah lelah untuk terlibat aktif dalam berbagai kepanitiaan yang dibentuk oleh Pemerintah dalam pembuatan Naskah Akademik dan perumusan Rancangan UU Nasional dan berbagai Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat.
Warisan dari masa kepemimpinan Abdon Nababan adalah puluhan produk hukum dan kebijakan nasional dan daerah terkait Masyarakat Adat. Namun, kepercayaan sebagai saksi ahli dalam persidangan-persidangan uji materi berbagai UU di Mahkamah Konstitusi (MK) dan pembelaan Masyarakat Adat di Pengadilan Negeri (PN) di berbagai daerah, adalah yang paling dikenang Abdon Nababan.
Ia adalah figur kunci yang berada di balik gugatan judicial review (uji material) di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Masyarakat Adat terhadap UU Kehutanan No. 46 Tahun 1999 yang kemudian melahirkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Keputusan historis ini dianggap sebagai marka penting dalam perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia mendapatkan pengakuan yang menegaskan bahwa “Hutan Adat Bukan Hutan Negara”.
Putusan MK tersebut menjadi landasan Abdon Nababan dan AMAN untuk terlibat merancang berbagai produk hukum turunan yang menghasilkan Empat Jalur Tempuh Pengakuan Masyarakat Adat sebagai panduan bagi upaya pengakuan hak-hak Masyarakat Adat untuk dilaksanakan di tingkat daerah.
Meski demikian, Abdon Nababan selalu merasa bahwa perjuangan Masyarakat Adat masih panjang. Ia meyakini bahwa perlu ada regulasi setingkat undang-undang yang mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia. Ini sebabnya, dalam sepuluh tahun terakhir Abdon Nababan tak pernah lelah melakukan lobi politik dan kampanye agar RUU Masyarakat Adat di Indonesia segera disahkan.
Atas konsistensinya berjuang untuk menegakkan kedaulatan Masyarakat Adat di Indonesia, pada tahun 2017, Abdon memperoleh penghargaan internasional bergengsi yaitu Magsaysay Award. Penghargaan yang sering disebut sebagai ‘Nobelnya Asia’ ini diterima langsung oleh Abdon di Manila, Filipina.
Tak Lelah Tetap Berkarya dari Kampung hingga Dunia
Bagi mereka yang terinspirasi, Abdon Nababan dikenal sebagai orang yang punya stamina luar biasa, selalu bersemangat dan penuh optimisme. Oleh karenanya, tak heran jika banyak organisasi non-pemerintah di tingkat nasional dan internasional tak pernah ragu menyampirkan kepercayaan dengan memandatkan Abdon Nababan di posisi strategis.
Berbagai inisiatif global dia ikut membidaninya, di antaranya bersama para pemimpin agama-agama dunia memprakarsai pendirian Interfaith Rainforest Initiative/Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis (IRI) Juni 2017 di Nobel Peace Center Oslo, Norwegia, dipercaya sebagai Ketua Dewan Penasehat IRI Indonesia 2021-2022 dan bersama para sahabatnya memprakarsai pembentukan International Land and Forest Tenure Facility, disingkat Tenure Facility, satu mekanisme pendanaan pendanaan untuk mendukung perjuangan kepastian hak atas tanah bagi masyarakat adat/lokal di seluruh dunia, didirikan di Washington DC dan saat ini berbasis di Stockholm, Swedia. Abdon Nababan adalah anggota Dewan Direktur Tenure Facility dari sejak berdiri di akhir tahun 2016 sampai sekarang.
Sedangkan di tingkat nasional, saat ini Abdon Nababan adalah Majelis Kaoem Telapak, dipercaya sebagai Ketua Badan Pengawas Forest Watch Indonesia (FWI), Ketua Dewan Pendiri Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), pendiri dan Penasehat Ahli Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), serta Sekretaris Dewan Pengurus Greenpeace Indonesia. Selain itu, ia juga dipercaya sebagai Ketua Dewan Pengawas Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM), Pengawas Credit Union (CU) RANDU, dan Ketua Dewan Pengurus Mama Aleta Fund (MAF).
Selama dua dekade terakhir, Abdon juga tak pernah alpa dan memberikan perhatian khusus untuk Sumatera Utara, Bonapasogit-nya. Di kampung halamannya Tano Batak, ia terlibat dalam beragam advokasi hak-hak Masyarakat Adat sejak kehadiran PT. Inti Indorayon Utama (IIU) di awal 1990-an, yang kemudian berganti wajah sebagai PT. Toba Pulp Lestari (TPL), sampai saat ini. Laki-laki berkacamata ini ingin memastikan tanah leluhurnya tetap lestari dan warganya tidak menderita akibat dampak pembangunan yang merusak alam dan budaya Batak.
Kecintaan dan ikatan dengan tanah leluhur-nya adalah sedikit di balik alasan Abdon Nababan sering pulang kampung. Tidak sekadar melepas rindu, ia juga ingin memupuk kecintaannya dengan berbuat ‘sesuatu’ dan berkarya untuk masyarakat dan lingkungan, dengan mendorong dan mendukung berbagai prakarsa yang lahir dan berkembang di Sumatera Utara. Seperti keterlibatannya sebagai Pengawas Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT).
Di Sumatera Timur, Abdon Nababan juga dikenal sebagai figur aktif yang mendukung perjuangan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Ini adalah organisasi perjuangan hak Masyarakat Adat tertua di Indonesia. Kesetiaannya berjuang dengan Rakyat Penunggu selama 25 terakhir telah menempatkan Abdon Nababan sebagai bagian tidak terpisahkan dari BPRPI. Bagi organisasi ini, ia bukan hanya dipandang sebagai Penasehat, namun juga dipercaya menyandang posisi sebagai Pemangku Setia Rakyat Penunggu.
Sementara di tingkat internasional, saat ini Abdon Nababan dipercaya sebagai Dewan Direktur Tenure Facility yang berbasis di Stockholm, setelah di periode 2015-2018 ia dipilih sebagai salah satu anggota Komite Pengarah Global Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 yang berafiliasi dengan World Economic Forum (WEF) yang berkantor di Jenewa, Swiss. Kepercayaan tersebut tak lepas dari pengalamannya yang pernah bekerja pada beberapa lembaga internasional dan donor.
Abdon Nababan tercatat pernah menjadi anggota Komite Pengarah Nasional dan Komite Penilai Proposal pada Global Environmental Facility – Small Grant Program (GEF-SGP), menjadi bagian dari Komite Pengarah untuk Indonesia’s Multistakeholders Forestry Programme – DFID yang terafiliasi dengan Departemen Kehutanan, dan Pimpinan Proyek untuk Peningkatan Kapasitas ORNOP Indonesia dalam Investigasi dan Kampanye Hutan yang merupakan kerja kolaborasi Greenpeace International dan WALHI.
Selain itu, Abdon Nababan juga terlibat aktif sebagai anggota Tim Teknis Penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan anggota Tim Teknis Penyusunan Keputusan Menteri tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Masyarakat. Keduanya merupakan inisiatif yang diprakarsai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yang kini dikenal sebagai Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penyuka kopi dan dikenal sebagai sosok yang tak pernah menolak diajak berdiskusi informal oleh mereka yang lebih muda, Abdon Nababan juga aktif terlibat dalam bidang penelitian dan kajian. Ia pernah menjadi Koordinator Pokja Riset dan Advokasi Kebijakan Kehutanan WALHI di tahun 1990-1993, dipercayakan sebagai Koordinator Program Riset dan Dukungan bagi Masyarakat Adat di Yayasan Sejati (1993-1996), dan ditunjuk sebagai Koordinator Pokja untuk Pengetahuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Tradisional BIOFORUM (1996-1999).
Selama menggeluti isu lingkungan dan Masyarakat Adat, Abdon Nababan juga menghasilkan sejumlah karya tulis dan memfasilitasi sejumlah pelatihan dan lokakarya. Ia juga sering diundang sebagai pengajar tamu oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi, antara lain di Program Studi Lingkungan Pascasarjana UI, Fakultas Hukum Universitas Jember, Fakultas Ekologi Manusia IPB dan FISIP UI. Selain itu, Abdon Nababan juga sering dipercaya menjadi pembicara di berbagai konferensi nasional dan internasional.
Selain menulis ratusan makalah yang disajikan dalam berbagai pertemuan di dalam dan luar negeri, Abdon Nababan juga adalah salah satu kontributor buku “Lipstick Traces in the Rainforest: Palm Oil, Crisis and Forest Loss in Indonesia – The Role of Germany” yang terbit pada Januari 1998. Ia juga menulis kata pengantar untuk buku “In Search of Recognition” yang rilis pada tahun 2003, dan ikut menyumbang gagasannya dalam buku “State of the Forest Report” yang merupakan kompilasi dari catatan advokasi hutan di Indonesia pada periode 2009-2013.
Hidup Bersahaja dan Sederhana
Dikenal banyak pihak sebagai sosok rendah hati, murah senyum dan komunikatif, meski telah dikenal di berbagai pelosok Nusantara, dan berkunjung ke berbagai belahan dunia, Abdon tetap hidup bersahaja.
Setelah kuliah dan aktif di gerakan sosial, pada usia 35 tahun Abdon menikah dengan pujaan hatinya, Devi Anggraini, seorang pegiat hak-hak perempuan yang juga pegiat hak-hak Masyarakat Adat dari Riau.
Sembari menikmati hidup bahagia dengan kesederhanaan, Abdon Nababan dan istrinya Devi Anggraini boru Manurung membesarkan tiga putri mereka yang kini sedang beranjak dewasa. Putri pertama, Meilonia Marintan Nababan, baru saja dinyatakan lulus sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Putri kedua mereka, Mena Azzelia Nababan, tengah menempuh studi di Fakultas Teknik Informatika ITHB Bandung, sementara si bungsu, Mayang Cerana Nababan baru saja memasuki dunia perguruan tinggi setelah mendapatkan beasiswa di Program Studi Komunikasi Strategis UMN Serpong.
Namun, jangan pernah bersangka Abdon Nababan kini pensiun, rehat atau menyepi. Suatu waktu, ia akan mengunggah foto di rimba Papua, ketika beberapa hari lalu gambar dirinya dalam sebuah forum di benua lain belum sempat lenyap dari ingatan. Abdon Nababan sudah kadung memilih jalan perjuangan sebagai caranya menghidupi hidup.
Yang terbaru 14 Desember 2022 lalu, Abdon Nababan menerima penugasan baru dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di wilatah Sumatera Utara dan Tano Batak untuk melanjutkan perjuangannya selama ini melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan Sumatera Utara lewat PEMILU 2024 yang akan datang. Penugasan ini hanya akan mungkin berhasil dengan doa, restu dan dukungan seluruh rakyat di Sumatera Utara.
Discussion about this post