Siborongborong – Perjalanan kedua kami menembus padatnya semak belukar kali ini terasa lebih mudah. Dengan masuk dari titik Bahal Batu, perjalanan kami hanya memakan waktu sekitar satu jam berjalan kaki.
Rute ini pun tergolong menyenangkan karena melalui batas-batas pertanian warga. Kami dihibur dengan rapi dan beragamnya kebun dan pesawahan warga. Jalan setapak panjang walau sempit sudah terbuka, memperkecil kemungkinan kami berpapasan dengan hewan liar seperti ular.
Desa Bahal Batu merupakan kawasan yang tergolong cukup luas. Terbagi menjadi tiga kawasan, Bahal Batu I, Bahal Batu II, dan Bahal Batu III. Semakin ke dalam kawasan desa ini, kita akan semakin kerap menemui jalan yang rusak, jalan yang berlubang parah, jalan berbatu.
Hal ini sangat kontradiksi dibandingkan fakta bahwa di Bahal Batu banyak ditemui petani dan peternak yang tergolong sukses dalam usahanya. Dan tampaknya penduduk setempat sudah pasrah dengan kondisi infrastruktur yang melumat habis semangat mereka dalam berusaha. Berkali-kali pemilihan Kepala Desa, Calon Anggota Legislatif dan sederet daftar pejabat lainnya berkunjung ke kawasan ini membawa sebingkis janji manis, tapi semuanya seperti menguap hilang entah kemana. Tinggal warga Bahal Batu yang menatap kosong ke jalan rusak yang merongrong mesin kendaraan mereka tanpa ampun.
Orang-orang tua pun cenderung mendorong anak-anak mereka untuk meninggalkan tempat ini untuk merantau atau bersekolah ke kota. Dan semilir angin gunungpun tak lagi membelai pipi-pipi generasi muda Desa Bahal Batu dengan impian.
Kembali ke perjalanan. Tak ubahnya seperti perjalanan hari pertama ke air terjun kecil, kamipun menuruni jurang kecil dan menyusuri anak sungai Aek Nadua untuk mencapai tujuan.
Turun dari jurang kecil, kami menghela nafas sejenak di lapangan rumput yang kami temui. Udaranya yang penuh kesejukan menceriakan rasa lelah, dan rangkaian cuitan beragam burung menggantikan kesunyian hati. Kami tak butuh musik lagi. Portable Speaker off.
Perjalanan berlanjut dengan menyusuri anak sungai yang dingin. Kaki kami serasa nyaman dibasuh air pegunungan yang jernih. Namun tetap, terkadang kami masih temui sampah plastik di tepian air. Kemungkinan besar sampah-sampah itu terbawa dari aliran air yang dekat dengan perumahan warga atau sampah dari pasar. Betapa bangsa kita perlu semakin paham, jika sepotong sampah plastik bisa sangat merugikan alam.

Riuh suara air yang terhempas batu semakin kencang dan memenuhi telinga. Akhirnya kami tiba di Air Terjun Besar Rabi. Air terjun ini tingginya sekitar tiga puluh meter. Dan menurut pendapat penduduk lokal, sekitar dua puluh tahun lalu debit airnya bisa mencapai tiga kali lipat dari yang sekarang. Tak terbayangkan derasnya. Dasar air terjun Rabi memiliki hamparan pasir putih yang berbentuk seperti pesisir, sangat cocok untuk mendirikan kemah disini.
Gua yang ada di balik air terjun ini juga cukup dikenal dahulu sebagai tempat persembunyian bagi gerombolan pemberontak dari kejaran pemerintah pusat. Turun temurun, sejak jaman perjuangan kemerdekaan melawan penjajah Belanda, hingga kaum pemberontak, gua ini selalu dipilih untuk bersembunyi. Hasrat kami untuk melakukan aktivitas caving semakin berdesir. Mungkin di lain kesempatan, saat perlengkapan caving sudah memadai.
Kondisi lembap di dalam gua menjadi lokasi favorit bagi kelelawar untuk bertengger di dalam. Hal ini sangat menguntungkan bagi dinas pertanian untuk memanen kotoran kelelawar atau guano yang kaya fosfat untuk penyubur tanaman.

Rabi seakan tak bisa memberi kami nafas untuk berkata cukup untuk menjelajah, Selalu ada titik yang memanggil untuk dieksplorasi. Sebuah kondisi yang membuat bimbang. Di satu sisi, keindahannya terjaga berkat sulitnya akses masuk. Tapi di sisi lain, kawasan ini bisa jadi salah satu surga wisata bagi Kabupaten Tapanuli Utara.
Simak video perjalanan kami melalui channel Youtube Tapanuli.ID, untuk tayangan eksplorasi menarik lainnya.
Discussion about this post